Sepertinya sebagian besar pelajar dan mahasiswa Indonesia suka banget baca buku di sela-sela kesibukan dalam belajar. Nah, kebetulan penulis adalah seorang mahasiswi dengan penyakit kanker (kantong kering) kronis yang juga lumayan suka baca buku di waktu luang. Beli kopi di coffee shop, duduk di pojokan, ambil buku dari tas, buka buku, mulai baca deh. Iya, itu cara supaya keliatan ‘sok intelektual’ aja.
Capek basa-basi, gini deh ….
Sebagian dari kita, iya kita, kaum pecinta kopi, senja, dan literasi, lebih banyak mengeksplor buku-buku berbahasa Indonesia. Ya wajar, kan tinggal di Indonesia!. Tunggu dulu, pernah gak sih kepikiran mau berhijrah ke yang lebih ‘asyik’?
Maksud ‘asyik’ di sini adalah mulai coba mengeksplor buku-buku luar negeri, seperti novel Inggris. Namun, masalah yang paling utama kita alami untuk bisa mendapatkan novel Inggris adalah ‘harganya mahal’. Perlu diketahui wahai teman-teman,
“Novel-novel Inggris tidaklah mahal harganya, namun kitanya saja yang miskin jadi merasa tidak mampu untuk membelinya”
Bercanda!
Memang harga novel-novel Inggris jauh lebih mahal ketimbang buku-buku Indonesia, namun selain itu yang membuat berpikir dua kali untuk mulai membaca novel Inggris adalah ‘bahasanya’. Setidaknya kita harus paham Grammar, dan beberapa kosa kata dalam bahasa Inggris untuk mengerti seluruh jalan cerita yang ada di novelnya.
Susah, njelimet, males, ah bodo amat mending beli novel Indonesia aja!.
Gak gitu dong!
Baru-baru ini penulis mulai berhijrah ke yang lebih asyik dengan membaca habis novel Inggris, Suicide Note. Kesan pertama yang ada dalam pikiran terdalam yang paling dalam pokoknya, ceritanya sungguh tidak bisa diprediksi. Apa yang tadinya menjadi ekpetasi penulis sebagai pembaca tentang jalan ceritanya, ternyata sang penulis novel tersebut lebih tidak mau novelnya mudah tertebak isinya.
Suicide Note karya Michael Thomas Ford, novel ini sebenarnya memiliki aliran fiksi dewasa namun bercerita tentang anak remaja bernama Jeff yang terbangun saat hari tahun baru di rumah sakit. Bingung dong, ada apaan nih kok doi tiba-tiba bisa kesasar di rumah sakit, ternyata eh ternyata dia melakukan percobaan bunuh diri di rumahnya, untungnya orang tua dari Jeff cepat beraksi dan meminta pertolongan pihak medis.
Rumah sakit? bukan rumah sakit biasa. Jeff harus berada di rumah sakit yang menangani pasien dengan gangguan jiwa. Jeff yang merasa tidak punya gangguan jiwa, selalu meminta dipulangkan ke rumahnya namun permintaannya tidak dikabulkan oleh si Cat Poop a.k.a Dr.Katzrupus, seorang psikiater di sana. Yang membuat cerita dari novel ini tidak bisa diprediksikan adalah masalah utama si Jeff yang memicu dia untuk melakukan bunuh diri.
Di tengah cerita, Jeff bercerita bahwa ia punya sahabat cewek bernama Allie. Jeff dan Allie hampir selalu berdua, namun sayangnya Allie punya pacar bernama Burke. Pasti yang ada dipikiran, Jeff melakukan bunuh diri karena cemburu sama Allie karena punya pacar?
Ya, kan? Iya, itu ekspetasi penulis. Ternyata, alasan Jeff bunuh diri karena merasa malu sama Allie soalnya si Jeff suka sama Burke. Lho, kok? jeruk makan jeruk?. Itulah uniknya dari novel Inggris, Terkadang konflik yang dibuat tidak bisa kita temukan di dalam novel Indonesia, ya karena perbedaan budaya juga sih.
Oh ya, sepertinya memang konflik yang disukai Michael Thomas Ford untuk menulis novel adalah tentang LGBT. Penulis juga coba baca novel lain dari Michael Thomas Ford yang berjudul Love and Other Curses, dan benar konfliknya masih sama seputar itu.
Namun yang perlu digaris bawahi, penulis hanya menyukai cara Thomas Ford dalam membuat cerita yang tidak bisa ditebak oleh para pembaca. Seakan kita sebagai pembaca tidak boleh berharap lebih karena yang namanya berharap lebih itu memang sakit, apalagi kalau harapan ini tidak kunjung akan terwujud :(, lho?.
Jadi seperti itu pengalaman pertama penulis membaca novel yang tidak melulu berbahasa Indonesia. Bukan berarti novel Indonesia tidak sebagus novel Inggris, hanya saja terkadang kita bisa menemukan cerita yang jarang sekali penulis Indonesia bisa terbitkan karena perbedaan budaya. Ngomong-ngomong, selain hanya bisa membaca, ternyata penulis juga bisa menulis analisis, lho!. Ahelah, gitu doang. Tunggu! pake bahasa Inggris nih, nih, buruan cek di sini